Ekosistem dan Produktivitas
Ekosistem lahan rawa bersifat marjinal dan rapuh yang rentan terhadap perubahan baik oleh karena faktor alam (kekeringan, kebakaran, dan kebanjiran), maupun karena faktor kesalahan pengelolaan (reklamasi, pembukaan, budidaya intensif).
Jenis tanah di kawasan rawa tergolong tanah bermasalah yang mempunyai banyak kendala. Misalnya tanah gambut mempunyai sifat kering tak balik (reversible drying), mudah ambles (subsidence), dan penurunan kadar hara (nutrients deficiency).
Tanah gambut mudah berubah menjadi bersifat hidrofob (takut air) apabila mengalami kekeringan. Gambut yang menjadi hidrofob tidak dapat lagi mengikat air dan hara secara optimal seperti kemampuan semula.
Selain itu, khusus tanah suffidik dan tanah sulfat masam mudah berubah apabila teroksidasi. Lapisan tanah (pirit) yang teroksidasi mudah berubah menjadi sangat masam (pH 2--3).
Hasil penelitian dan pengkajian menunjukkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian di lahan rawa diperlukan pendekatan yang menyeluruh menyangkut perbaikan lahan dan kemampuan sosial ekonomi masyarakat setempat. Selain tanaman pangan seperti padi, palawija, dan umbi-umbian dan perkebunan seperti karet, kelapa, dan kelapa sawit, beberapa tanaman sayur mayur dan buah-buahan dapat ditanam dengan pengelolaan yang baik.
Akan tetapi produktivitas tanaman yang dapat dicapai di lahan rawa sangat tergantung pada tingkat kendala dan ketepatan pengelolaan. Namun pada umumnya petani dalam penanganan pasca panen termasuk pengelolaan hasil masih lemah. Selain itu juga pemasaran hasil yang terbatas sehingga masih diperlukan dukungan kelembagaan yang baik dan profesional serta komitmen pemerintah provinsi, kabupaten/kota dalam meningkatkan kesejahteraan petani rawa.
Bagaimana memajukan pertanian lahan rawa?
Pemahaman mendalam tentang sifat dan perilaku lingkungan fisik seperti tanah, air dan lainnya, sangat diperlukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi budidaya dan pengelolaan lahan rawa meskipun tersedia banyak, tetapi perubahan sifat-sifat tanah dan lingkungan dapat berlangsung cepat dan sangat berpengaruh terhadap produktivitas.
Sehingga diperlukan siasat untuk mengatasinya secara dini. Keadaan ini memerlukan pemantauan secara terus menerus sehingga pengawalan secara ketat terhadap penerapan teknologi dan pengelolaan selanjutnya sangat diperlukan.
Lahan rawa yang dibuka mudah menjadi lahan bongkor. Perubahan ini tidak diperkirakan sebelumnya. Kesan ini tampak karena sebagian lahan mengalami pengatusan berlebih (overdrainage), muka air turun di bawah lapisan pirit setelah direklamasi.
Gambut menjadi kering tak balik (ineversibe drying) dan hidrofob (takut air) setelah diusahakan. Keadaan ini memacu terjadinya kemasaman, penurunan hara, dan peningkatan pelolosan (exhausted) hara, serta peningkatan kelarutan racun beserta asam-asam organik.
Pengembangan lahan rawa mempunyai banyak keterkaitan dengan gatra lingkungan yang sangat rumit karena hakekat rawa selain mempunyai fungsi produksi juga fungsi lingkungan.
Apabila fungsi lingkungan ini menurun maka fungsi produksi akan terganggu. Oleh karena itu perencanaan pengembangan rawa harus dirancang sedemikian rupa untuk memadukan antara fungsi lahan sebagai produksi dan penyangga lingkungan agar saling menguntungkan atau konpersatif. Selain itu, selalu memperhatikan prinsip tata air yang berlaku untuk lahan rawa
Rancangan semacam inilah yang memungkinkan untuk tercapainya pertanian berkelanjutan di lahan rawa.
Prinsip tata air untuk lahan rawa
Prinsip penting yang harus diterapkan jika akan berhasil bertani di lahan rawa adalah pengelolaan air atau sering disebut tata air bukan hanya dimaksudkan untuk menghindari terjadinya banjir atau genangan yang berlebihan di musim hujan. Juga harus dimaksudkan untuk menghindari kekeringan di musim kemarau.
Selain itu, juga untuk menghindari bahaya kekeringan lahan sulfat masam dan lahan gambut.
Untuk melakukan pengelolaan air dalam suatu kawasan yang luas harus membuat jaringan reklamasi sehingga keberadaan air bisa dikendalikan. Ada tiga jenis tata air untuk lahan rawa yaitu tata air makro, tata air mikro, dan tata air dalam lahan pertanaman. Seluruhnya terkait satu sama lainnya dan dilakukan pengelolaan dalam suatu kawasan yang luas.
Oleh karena kawasannya yang luas, maka pembangunan dan pemeliharaannya harus dilaksanakan secara kolektif.
Tata air makro
Lahan rawa memerlukan tata air makro dengan membuat saluran drainase dan irigasi yang terdiri atas saluran primer, sekunder, dan tersier.
Saluran drainase dibuat guna menampung dan menyalurkan air yang berlebihan dalam suatu kawasan ke luar lokasi. Sebaliknya saluran irigasi dibuat untuk menyalurkan air dari luar lokasi ke suatu kawasan untuk menjaga kelembaban tanah atau mencuci senyawa-senyawa beracun.
Oleh sebab itu, pembuatan saluran drainase harus dibarengi dengan pembuatan saluran irigasi.
Selain itu, perlu dibangun tanggul penangkis banjir di sepanjang saluran karena drainase saja sering tidak mampu mengatasi luapan air musim hujan.
Kemudian diperlukan waduk retarder atau chek dam yaitu waduk yang dibuat di lahan rawa lebak atau lebak peralihan. Fungsi waduk ini untuk menampung air di musim hujan, mengendalikan banjir, dan menyimpannya untuk disalurkan di musim kemarau.
Selain itu, juga diperlukan saluran intersepsi yang berfungsi untuk menampung aliran permukaan dari lahan kering di atas lahan rawa. Letaknya pada perbatasan antara lahan kering dan lahan rawa. Saluran ini sering dibuat cukup panjang dan lebar sehingga menyerupai waduk panjang. Apabila ada kelebihan air akan disalurkan melalui bagian hilir ke sungai sebagai air irigasi.
Tata air mikro
Tata air mikro ialah pengelolaan air pada skala petani. Dalam hal ini, pengelolaan air dimulai dari pengelolaan saluran tersier serta pembangunan dan pengaturan saluran kuarter dan saluran lain yang lebih kecil.
Saluran tersier umumnya dibangun oleh pemerintah tetapi pengelolaannya diserahkan kepada petani.
Pengelolaan air di tingkat petani bertujuan untuk mengatur agar setiap petani memperoleh air irigasi dan membuang air drainase secara adil. Untuk itu diperlukan organisasi di tingkat desa.
Kemudian, pengelolaan di tingkat petani juga menciptakan kelembaban tanah di lahan seoptimal mungkin bagi pertumbuhan tanaman serta mencegah kekeringan lahan sulfat asam dan lahan gambut.
Tata air dalam lahan pertanaman
Kuarter merupakan saluran di luar pertanaman yang paling kecil. Di dalam lahan, dibuat saluran drainase intensif yang terdiri dari saluran kolektor dan saluran cacing.
Pengaturan lahan dapat ditata dengan sistem caren dan surjan. Pada sistem ini saluran drainase intensif dibuat setelah selesai pembuatan
Sedangkan, pada lahan yang ditata dengan sistem sawah dan tegalan, pembuatan saluran setelah pengolahan tanah.
Saluran kolektor dibuat mengelilingi lahan. Untuk saluran kolektor yang berhubungan dengan saluran irigasi diberi pintu pada bagian hulu. Sedangkan saluran kolektor yang berhubungan dengan saluran drainase diberi pintu pada bagian hilir.
Pintu cukup dibuat dengan cara menggali tanggul dan dapat ditutup sewaktu-waktu dengan cara menimbun kembali.
Sedangkan posisi saluran cacing sebaiknya dibuat tegak lurus dengan saluran kolektor.
Air merupakan unsur penting bagi tanaman. Di samping berfungsi langsung dalam proses pertumbuhan, air juga berfungsi dalam mengendalikan gulma, mencuci senyawa-senyawa beracun, dan menyuplai unsur hara.
Sementara di sisi lain, air juga menjadi kendala jika keberadannya tidak diatur dan kualitasnya menjadi kurang baik atau beracun.
Oleh sebab itu, pengelolaan air dalam pertanian lahan rawa perlu mendapatkan perhatian secara serius dan kolektif.
EmoticonEmoticon